Kamis, 08 Desember 2011

KABUPATEN MAGELANG




Kabupaten Magelang merupakan kabupaten di Propinsi Jawa Tengah yang memiliki peninggalan budaya yang amat bernilai, yaitu Candi Borobudur. Daerah ini memiliki luas 1.085 Km2 dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa.

Sektor pertanian amat signifikan dalam dalam perekonomian Kabupaten Magelang. Beberapa produk pertanian daerah ini adalah salah satu yang terbesar di Propinsi Jawa Tengah. Sektor lainnya yang cukup penting adalah industri pengolahan.

Kabupaten Magelang merupakan salah satu produsen buah-buahan yang penting di Jawa Tengah. Daerah ini unggul dalam produksi tanaman salak dan rambutan. Produksi rambutan di daerah ini terbesar di Jawa Tengah. Sedangkan salak menempati peringkat kedua setelah Kabupaten Banjarnegara. Selain itu, daerah ini juga menghasilkan buah-buahan lainnya seperti pisang.

Untuk tanaman bahan pangan, jenis tanaman yang terbesar dihasilkan adalah padi sawah. Selain itu, juga dihasilkan berbagai tanaman seperti ketela pohon dan jagung, serta berbagai tanaman palawija lainnya. Klaster tanaman bahan pangan, terutama padi, ketela pohon, dan jagung cocok dikembangkan di Kecamatan Bandongan, Mungkid, Grabag, Candimulyo, Kajoran, Pakis, Windusari, dan Kaliangkrik.

Kabupaten Magelang juga menghasilkan berbagai sayur-sayuran. Diantara yang produksinya signifikan adalah cabe merah, tomat, dan wortel. Selain ketiga sayuran tersebut, daerah ini juga menghasilkan tanaman sayur-sayuran lainnya namun sifatnya subsisten, hanya untuk kebutuhan daerah sendiri. Klaster sayur-sayuran, terutama ketiga jenis sayur-sayuran di atas, cocok dikembangkan di Kecamatan Dukun, Srumbung, Pakis, Sawangan, dan Ngablak.

Selain tanaman pangan dan sayur-sayuran, daerah ini menghasilkan berbagai buah-buahan. Tiga besar produksi buah-buahan adalah salak, rambutan, dan pisang. Klaster buah-buahan, terutama ketiga jenis buah tersebut, cocok dikembangkan di Kecamatan Srumbung, Salaman, Mertoyudan, kajoran, Secang, Pakis, dan Ngablak.

Sektor lain yang signifikan perannya adalah industri pengolahan. Beberapa kecamatan terlihat sebagai sentra industri. Untuk industri besar, konsentrasi terdapat di Kecamatan Tempuran, Mertoyudan, dan Munkid. Sedangkan untuk industri sedang, konsentrasi terlihat di Kecamatan Tempuran, Windusari, dan Ngablak. Dari data tersebut terlihat bahwa Kecamatan Tempuran merupakan yang tertinggi konsentrasi industrinya.

Dilihat dari jenis industri, jumlah usaha terbesar, yaitu sebesar 42 unit usaha, adalah Industri makanan, minuman jadi, dan tembakau. Industri lainnya yang penting adalah Industri barang-barang dari bahan galian kecuali gas dan minyak bumi sebanyak 11 unit usaha, dan Industri macam-macam perhiasan, mainan anak-anak, cinderamata dll sebanyak 10 unit usaha.

Realisasi ekspor non-migas terbesar adalah dari komoditi kulit samak. Sedangkan komoditi lainnya yang menyumbang devisa yang juga besar adalah kayu olahan komponen bahan bangunan, dan komoditi alat rumah tanggadari kayu/kulit. 


Sumber :
http://www.cps-sss.org/web/home/kabupaten/kab/Kabupaten+Magelang

Sumber Gambar:
http://pattiro-magelang.org/kawasan-rawan-longsor-di-kab-magelang.html
http://fevri.dagdigdug.com/files/2009/08/juju.jpg
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/6/64/Locator_kabupaten_magelang.png

SEJARAH KOTA MAGELANG



Hari Jadi Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang  bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Parsasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja  Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.

Sumber :
http://www.magelangkota.go.id/tentang-magelang/selayang-pandang/sejarah

SEJARAH KOTA MAGELANG

Hari Jadi Magelang ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 April 907 Masehi merupakan hari jadi. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang  bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dengan dilengkapi berbagai penelitian di Museum Nasional maupun Museum Radya Pustaka-Surakarta.
Kota Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih, yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di Kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam Cinta Kasih. Di kampung Meteseh saat ini terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai tempat upacara penetapan Sima atau Perdikan.
Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis diatas lempengan tembaga.
Parsasti POH dan Mantyasih ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja  Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M), dalam prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang. Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi antara lain, penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Çaka bulan Çaitra tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Sçara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi tanggal 11 April 907. Dalam Prasasti ini disebut pula Desa Mantyasih yang ditetapkan oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin oleh pejabat patih. Juga disebut-sebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan Gunung SINDORO dan Gunung SUMBING.
Begitulah Magelang, yang kemudian berkembang menjadi kota selanjutnya menjadi Ibukota Karesidenan Kedu dan juga pernah menjadi Ibukota Kabupaten Magelang. Setelah masa kemerdekaan kota ini menjadi kotapraja dan kemudian kotamadya dan di era reformasi, sejalan dengan pemberian otonomi seluas - luasnya kepada daerah, sebutan kotamadya ditiadakan dan diganti menjadi kota.
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, dijadikanlah kota ini sebagai pusat pemerintahan setingkat Kabupaten dan diangkatlah Mas Ngabehi Danukromo sebagai Bupati pertama. Bupati ini pulalah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membangun Alun - alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.
Setelah pemerintah Inggris ditaklukkan oleh Belanda, kedudukan Magelang semakin kuat. Oleh pemerintah Belanda, kota ini dijadikan pusat lalu lintas perekonomian. Selain itu karena letaknya yang strategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah Magelang kemudian dijadikan Kota Militer: Pemerintah Belanda terus melengkapi sarana dan prasarana perkotaan. Menara air minum dibangun di tengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik mulai beroperasi tahun 1927, dan jalan - jalan arteri diperkeras dan diaspal.

Sumber :
http://www.magelangkota.go.id/tentang-magelang/selayang-pandang/sejarah

ciri khas magelang

jumat 9 Desember 2010

Kota Magelang


Ciri khas sebuah kota sepenuhnya melekat pada Kota Magelang. Kota ini tidak lagi memiliki ciri agraris. Hal ini terlihat dari komposisi PDRB Kota dimana enam besar sektor di kota ini adalah non pertanian. Keenam besar sektor tersebut adalah sektor Jasa-Jasa dengan kontribusi terhadap PDRB sebesar 37,62 persen, Sektor Pengangkutan dan Komunikasi 18,58 persen, Sektor Bangunan dan Konstruksi 13,56 persen, sektor Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 10,46 persen, Sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran 6,87 persen, dan sektor Industri Pengolahan 6,48 persen. Salah satu kegiatan yang berpengaruh bagi perekonomian adalah perdagangan. Dinamika perdagangan ini antara lain dapat terlihat dari banyaknya penerbitan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda daftar Perusahaan (TDP). Pada Tahun 2006 banyaknya SIUP yang diterbitkan sebesar 554 buah. SIUP terbanyak adalah untuk pedagang kecil, yaitu sebesar 417 buah. Sementara untuk TDP yang diterbitkan selama Tahun 2006 adalah sebesar 221 buah. TDP terbanyak diterbitkan untuk usaha perorangan, yaitu sebanyak 167 buah. Selain untuk keperluan lokal dan nasional, produk Kota Magelang telah banyak yang berhasil menembus pasar dunia. Beberapa produk yang telah menembus pasar ekspor dan menghasilkan devisa adalah kulit sapi jadi, kulit sapi wet blue, kulit sapi crust, laminating board, dan tembakau krosok. Kecuali Laminating Board, nilai ekspor produk-produk tersebut cenderung naik. Kenaikan terbesar dan juga nilai ekspor terbesar dihasilkan oleh produk kulit sapi wet blue, yakni sebesar US $ 6.459.684,73. Kota Magelang juga memiliki berbagai jenis industri dan menjadi mata pencaharian banyak penduduknya. Jumlah industri, baik industri kecil, sedang, dan besar cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Kenaikan jumlah industri ini berkorelasi positif dengan peningkatan jumlah lapangan kerja yang tersedia di daerah ini. Banyaknya industri di Kota Magelang Tahun 2006 sebesar 1.688 buah, terdiri dari 1.674 buah industri kecil dan 14 buah industri besar/sedang. Berbagai industri tersebut menyerap ribuan tenaga kerja, yakni 6.930 tenaga kerja industri kecil dan 1.260 tenaga kerja industri besar/sedang.